Perkembangan Teori Pemidanaan.


Seiring dengan perkembangan zaman hukum pun juga pastinya ikut berkembang. Segala fenomena yang baru berkembang dalam masyarakat ikut memengaruhi hukum yang telah ada sebelumnya hingga mengharuskan tiap otoritas negara membuat pembaruan hukum agar sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, tak terkecuali kebutuhan masyarakat atas hukum pidana yang lebih “modern”.
Dalam rangka membuat pembaruan hukum pidana diperlukan teori-teori yang mendasari tiap perubahan itu, hal itu terjadi mengingat “teori” merupakan alat atau sarana untuk membuat suatu analisis sistematis yang bisa diikuti dan/atau diuji serta diterima oleh orang lain sehingga terjadilah spekulasi akademik yang dapat dinalar. Teori tidak membicarakan atau membahas tentang benar dan salah dalam suatu persoalan hingga mengakibatkan teori itu berhenti membahas persoalan tersebut, akan tetapi suatu teori akan terus berkembang menolak atau menerima proses pembentukan atau perubahan sosial dalam masyarakat. Teori-teori hukum pidana diperlukan untuk menjelaskan fenomena sosial dalam bidang hukum pidana yang sedang berkembang di dalam masyarakat dan juga untuk mengolah sejumlah data yang belum mempunyai arti. Contohnya latar belakang suatu kejahatan, latar belakang suatu tindakan anarkis, dan latar belakang korporasi dijadikan salah satu subjek hukum.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pembaruan hukum pidana memerlukan landasan teori, yang mana teori tersebut merupakan teori yang telah berkembang atau sudah lebih maju dari teori sebelumnya. Teori yang telah berkembang akan menjawab tekanan-tekanan terhadap teori sebelumnya, hingga walau pada akhirnya teori tersebut akan mendapat tekanan dan digantikan oleh teori yang baru lagi.
 Diantara teori-teori yang berkembang adalah teori tentang pemidanaan serta alasan pembenar pemidanaan, yang bertujuan untuk mencegah sistem pidana tidak menjadi “ancaman” dan sistem pemidanaan harus memperhitungkan kenyataan-kenyataan kemanusiaan dan sosial, serta mencoba untuk membuat ukuran-ukuran yang sedapat mungkin jelas dan efisien.
Masalah pemidanaan merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana olehnya sebelum menjelaskan teori tantang pemidanaan maka sepertinya perlu sedikit membahas tentang kerangka konseptual yang memengaruhi tujuan pemidanaan. Hal-hal yang mengenai tujuan pemidanaan harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana, aliran-aliran tersebut adalah Aliran Klasik, Aliran Modern, dan Neo Klasik.
Aliran Klasik berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran.
            Aliran Modern atau aliran positif  bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.
            Aliran Neo Klasik beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.
Tentang teori pemidanaan, awal dari teori ini adalah teori retributive view atau pandangan negatif, Pandangan retributif berpandangan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Teori tersebut dianggap melihat ke belakang.
Perkembangan selanjutnya berkembanglah teori utilitarian atau teleogis. Teori ini melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).
Berkembangnya teori retributif-teleogis merupakan perkembangan selanjutnya. Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan ini mencoba mengintegrasikan pandangan retributif dan utilitarian hingga menghasilkan sebuah pemaduan dari fungsi kedua pandangan tersebut menjadi retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah :
a)    Pencegahan umum dan khusus;
b)    Perlindungan masyarakat;
c)    Memelihara solidaritas masyarakat dan
d)    Pengimbalan/pengimbangan.
Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik beratnya adalah sifatnya kasusistis.
Teori rehabilitasi ini akhirnya dikritik karena menganggap tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Dari tekanan terhadap tujuan rehabilitasi itu lahirlah “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.
Selain model keadilan terdapat juga model lain yaitu restorative model. Menurut Muladi secara rinci restorative model mempunyai beberapa karakteristik yaitu:
1)    Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
2)    Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
3)    Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
4)    Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
5)    Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
6)    Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
7)    Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
8)    Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
9)    Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
10) Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
11) Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.