Minggu, 21 Februari 2010

Politik Hukum terhadap UU. No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Bab. 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Politik hukum merupakan kebijakan dasar oleh suatu negara yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Ada pendapat bahwa politik hukum ini berasal dari gabungan antara ilmu hukum dan filsafat hukum, ini merubah pandangan selama ini bahwa politik hukum merupakan gabungan ilmu hukum dan ilmu politik. Proses interplay keduanya (Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum) terjadi dengan cara; ilmu hukum diarahkan pada cara untuk mencapai tujuan, adapun filsafat hukum diarahkan untuk melihat tujuan yang diinginkan. Penggunaan secara bersamaan dan kreatif itulah yang akhirnya melahirkan politik hukum. Dengan politik hukum negara dapat merencanakan tata cara meraih tujuan dengan menggunakan jalur hukum.

Salah satu tujuan bagi negara penganut affirmative state, khususnya yang bervarian welfare state adalah memberikan pelayanan publik. Pelayanan publik adalah hak dasar warga dan tanggung jawab negara memenuhinya. Melalui pelayanan publik seperti terlihat dalam regulasi dan instrumen fiskalnya negara mengupayakan kesejahteraan rakyat dan akses keadilan atas sumber daya sosial, ekonomi, dan politik. Paham ini menjadi favorit para aktivis sosial yang mendorong perspektif pelayanan publik berbasis hak (HAM).

Sementara dalam mazhab minimal state (neolib dan neoinstitusionalis), pilihan moral dan teknis terbaik bagi suatu negara adalah jika pemerintahnya sekadar menjadi penjaga malam: menjamin masyarakat yang teratur dan taat hukum. Di luar itu, termasuk urusan pelayanan publik, biarlah masyarakat memenuhinya sendiri melalui mekanisme pasar di mana niscaya bekerja the invisible hand yang mendorong tercapainya titik imbang (ekuilibrium).

Di Indonesia, seiring desentralisasi, pengaruh kedua aliran ini mulai meresapi kebijakan sektor publik kita. Tipologi inovasi pelayanan di sebagian daerah cenderung bercorak welfare state, sementara yang lain lagi berkategori neoinstitusionalis.

Dalam kerangka nasional penyelenggara negara di Indonesia menjalankan politik hukum yang berdasar dengan sistem presidensial. Berubahnya sistem pemilihan umum di Indonesia menyebabkan berubahnya politik hukum Indonesia. Saat ini presiden bukan lagi mandataris MPR yang menjalankan GBHN yang diamanatkan oleh mandatarisnya. Saat ini yang menjadi haluan negara adalah kebijakan presiden dan janji-janji kampanye calon presiden, olehnya dalam menyusun kebijakan dasar di negara para perumus kebijakan senantiasa merujuk kepada program-program yang dijanjikan oleh calon presiden yang terpilih. Menyangkut masalah pelayanan publik presiden menjanjikan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat. Dengan merunut hal itu maka perancang peraturan perundang-undangan membuat RUU pelayanan publik yang telah disahkan pada bulan Agustus 2009. Akan tetapi yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan politik hukum, apakah tujuan fundamental dalam pembentukan Undang-Undang Pelayanan Publik.

Bab. 2. Pembahasan

2.1. Politik Hukum terhadap Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Dalam membahas politik hukum terhadap UU Pelayanan Publik penulis perlu memaparkan terlebih dahulu ruang lingkup dan manfaat ilmu politik hukum.

Berbeda dengan Ilmu hukum dogmatis/legalis dan Ilmu hukum empirik yang bersifat teoritis-rasional serta filsafat hukum yang bersifat teoritis-filosofis, politik hukum berbicara pada tataran empiris-fungsional dengan menggunakan teleogis-konstruktif. Artinya politik hukum dalam nilai etik dan konstruktif atau teknik pembentukan hukum dan penemuan hukum lebih diarahkan untuk melihat sejauh mana hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses transformasi masyarakat yang diinginkan. Agar produk hukum yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan, proses yang melibatkan unsur-unsur yang mendukung terjaminnya proses terbut harus diperhatikan, termasuk dalam hal ini adalah pengaruh ideologi dan ajaran-ajaran politik kedati pengaruh hal-hal tersebut sangat kecil.

Apabila dihubungan dengan praktik pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan di bidang hukum politik hukum sebagai teori mengungkapkan policy evaluation serta policy recomendation di bidang hukum. Dengan demikian, politik hukum merupakan sitem ajaran tentang hukum sebagai kenyataan idil dan riil. Menurut Purbacaraka dan Sukanto, dalam hubungannya dengan pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding), bersifat praktis-fungsional dengan cara penguraian teleogis-konstruktif. Maksudnya, sebagai sebuah disiplin hukum, politik hukum memberikan landasan akademis terhadap proses pembentukan dan penemuan hukum yang lebih sesai dengan konteks kesejarahan, situasi dan kondisi, kultur dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Melalui hukum seperti ini diharapkan produk hukum yang diterima, dilaksanakan, dan dipatuhi.

Dalam pengertian seperti itu, secara tidak langsung dalam perspektif akademis, purbacaraka telah menempatkan disiplin politik hukum khusus yang sangat penting dan berpengaruh dalam proses segi hukum disiplin hukum dan teknologi hukum. Sesuai dengan sifatnya yang praktis-fungsional disiplin hukum ini dimanfaatkan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan dari segi khusus disiplin hukum yang dibentuknya. Hal ini menjadi tanda bahwa politik hukum menjadi kajian hukum tata negara.

Sebagaimana telah dijaelaskan sebelumnya bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar oleh suatu negara yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Dalam pengertian tersebut kata “penyelenggara negara” dan “tujuan negara yang dicita-citakan” menjadi sorotan dalam studi ini. Dan siapa yang dimaksud penyelenggara negara dan di mana kita menemukan tujuan negara yang dicita-citakan itu? Penyelenggara negara adalah lembaga-lembaga negara yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk mengadakan pemerintahan suatu negara. Penyelenggara disebut juga dengan pemerintah, yang pengertian luas mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia mencakup juga kekuasaan inspektif.

Adapun tujuan negara yang dicita-citakan dapat dilihat secara umum pada Pembukaan UUD Negara R.I tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apa yang terdapat terdapat dalam pembukaan itu kemudian dijabarkan lebih rinci pada pasal-pasal UUD Negara R.I tahun 1945 tersebut, yang dioperasional kan dalam Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lain yang terdapat dibawahnya.

Kedua hal diatas, baik itu lembaga negara maupun tujuan negara yang dicita-citakan, merupakan studi hukum tata negara. Artinya hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoritis praktis kini menjadi kajian disiplin ilmu tersebut. Lalu sekarang, mana di antara badan-badan negara yang berwenag dalam penentuan politik hukum suatu negara? Dalam peraturan perundang-undangan mana saja politik hukum suatu negara dapat ditemukan? Dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi politik hukum suatu negara?

Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dalam peraturan perundang-undangan, dan faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan politik hukum suatu negara.

Berangkat dari salah satu ruang lingkup politik hukum kita akan mencoba menemukan titik taut atau letak politik hukum dalam UU. No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya tentang defenisi politik hukum maka dapat ditarik beberapa poin yang dapat dijadikan pisau analisis dalam mencari titik taut atau letak politik hukum dalam UU. No 25/2009 tentang Pelayanan publik yaitu:

  1. Masalah kebijakan dasar;
  2. Penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut;
  3. Materi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku;
  4. Peoses pembentukan hukum;
  5. Dan tujuan politik hukum nasional.

Namun dari kelima poin tersebut yang menjadi pisau analisis utama adalah tujuan politik hukum nasional

Masalah kebijakan dasar

Adapun yang dimaksudkan dengan kebijakan dasar adalah pedoman dasar dari segala bentuk perumusan, pembentukan dan pengembangan hukum di tanah air. Jadi untuk memenuhi syarat sebagai pedoman dasar berarti hal tersebut bersifat mendasar pula, bukan peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis, olehnya dalam hal menjawab hal tersebut mau tidak mau kita harus merujuk pada sumber tata urutan/hierarkis perundang-undangan di negara kita. Jenis dan hierarki perundang-undangan di Indonesia dapat kita lihat dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

  1. UUD Negara R.I tahun 1945
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  3. Pereturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah

Dari urutan tersebut terlihat bahwa UUD Negara R.I tahun 1945 menempati posisi tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dan kemudian disusul kemudian di bawahnya UU/PERPPU, PP, Perpres, dan Perda. Namun perlu diketaui kendati bersifat hierarki seperti itu, bukan berarti dalam hal perumusan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau perincian secara teknis dari peraturan perundang-undangan yang berada tepat diatasnya, seperti Perda berasal dari Perpres, PP daru PERPPU atau lainnya. Penyusunan hierarki tersebut semata-mata dalam rangka menyinkronkan atau menghindarkan konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain.

Mengutip pendapat Hans Kelsen berkaitan dengan posisi tertinggi UUD 1945 dalam tata urutan perundang-undangan tidak bisa dilepaskan dari fungsinya sebagai konstitusi negara. Konstitusi terdiri dari norma-norma hukum secara umum yang merupakan tempat atau sumber rujukan utama bagi proses perumusan dan penetapan peraturan Perundang-Undangan yang lain

Posisi UUD 1945 sebagai hukum dasar itulah yang memberikan legal consequence bahwa setiap materi perundang-undangan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan materi-materi yang terdapat dalam UUD 1945. Hal ini terkait dengan salah satu fungsi dari konstitusi dalam satu negara sebagai a politico-legal document yakni dokumen politik dan hukum suatu negara yang berfungsi sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum.

Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa UUD Negara R.I Tahun 1945-lah yang menentukan garis besar, arah, isi dan bentuk hukum yang akan diberlakukan di Indonesia. Dengan pemahaman seperti itu maka dapat diambil kesimpulan yang menjadi penentu kebijakan dasar dari UU No. 25/2009 tetang Pelayanan Publik adalah UUD Negara R.I Tahun 1945. Hal tersebut terlihat jelas dalam konsideran UU tersebut, di sana tertulis

“Menimbang: Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 27 Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H, Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia Tahun 1945”.

Penyelenggara Negara yang Menentukan Kebijakan Negara dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik

Dengan merujuk kepada UUD 1945 maka Penyelenggara negara yang dapat merumuskan politik hukum nasional adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MPR merumuskan politik hukum nasional dalam bentuk undang-undang dasar, sedangkan DPR dapat merumuskan politik hukum dalam bentuk undang-undang, karena kedudukannya sebagai kekuasaan legislatif seperti yang tertuang dalam pasal 20 ayat (1) UUD Negara R.I tahun 1945. Namun demikian pihak eksekutif dapat juga mengajukan rancangan undang-undang seperti yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) UUD Negara R.I Tahun 1945. Jika dilihat dari sejarah pembentukan Undang-Undang pelayanan publik dapat diketahui bahwa Undang-Undang tersebut diajukan bersama oleh eksekutif. hal itu dapat dilihat dalam kalimat di bagian akhir konsideran Undang-Undang tersebut. Pada bagian itu terdapat kalimat “dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia”.

Materi hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku dalam UU No. 25/2009

Melihat poin di atas maka unsurnya dapat dibagi tiga yaitu (1) materi hukum yang akan diberlakukan, (2) materi hukum yang sedang berlaku, (3) materi hukum yang telah berlaku, Jika melihat isi dari UU. No. 25/2009 maka materi hukum yang akan diberlakukan berjumlah 62 pasal dan 183 ayat.

Sementara materi hukum yang sedang berlaku dan berkaitan dengan Undang-Undang tersebut dapat dilihat pada bagian konsiderannya. Dalam konsideran terdapat lima peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku dan menjadi pertimbangan pembentukan UU tersebut yaitu:

a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

c) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557);

d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558);

e) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899);”

Proses Pembentukan Hukum

Analisis terhadap poin ini akan membantu kita menemukan faktor-faktor yang turut serta memengaruhi politik hukum dan dari hal tersebut akan dapat pula kita ketahui pengaruh apa yang mungkin ada dalam pembentukan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang tidaklah datang dari ruang hampa akan tetapi merupakan aktualisasi dari kehendak-kehendak politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Kehendak-kehendak ini bisa datang dari berbagai kalangan. Kehendak-kehendak tersebut bisa muncul dari baik pada tingkan supra struktur maupun infrastruktur Politik. Supra struktur dalam UUD Negara R.I Tahun 1945 adalah : DPR, MPR, PRESIDEN, MA, MK, KY, BPK, DPD. Sedangkan infrastruktur politik Indonesia terdiri dari partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, alat komunikasi politik, dan tokoh politik. Perlu diketahui, supra struktur yang dapat merumuskan politik hukum hanya MPR dan DPR saja serta usulan rancangan undang-undang dari Presiden. Sedangkan lembaga lain tidak.

Kehendak-kehendak baik yang bersifat politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain yang muncul dari tingkat infrastruktur politik kemudian diperdebatkan dan mengalami kristalisasi pada tingkat suprastruktur politik yang kemudian keluarannya adalah rumusan politik hukum baik yang terdapat dalam UUD maupun Undang-Undang.

Menyangkut proses pembentukan UU No. 25/2009 dapat kita lihat dari pertimbangan pembentukan Undang-Undang ini

“Menimbang: a. bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;

c. bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;

d. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pelayanan Publik;”

kehendak-kehendak yang terdapat dalam dasar pertimbangan proses pembentukan hukum dalam UU tersebut adalah kehendak-kehendak yang datangnya dari berbagai kalangan ada yang datangnya dari suprastruktur politik seperti Presiden dan DPR, ada yang datang dari tuntutan social society untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, adapula yang datang dari infrastruktur politik lainnya seperti pelaku ekonomi dan lain-lain. Secara garis besar seluruh kehendak dalam proses pembentukan hukum adalah kehendak-kehendank yang sifatnya politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Penjelasan empat hal tersebut akan di bahas pada bagian tujuan politik hukum nasional dalam UU No 25/2009.

Pembentukan hukum juga tergantung dari rumusan politik hukum yang terdapat dalam konstitusi. Menurut Prof. Hamid Awaluddin Berubahnya sistem pemilihan umum seperti yang diamanatkan pula dalam UUD Negara R.I Tahun 1945 menjadi pemilihan langsung oleh rakyat ikut merubah sistem politik di negara kita. Jika dahulu presiden merupakan mandataris MPR dan seluruh kebijakan yang akan diambil pemimpin negara dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan buatan MPR yang diamanatkan kepada presiden selaku pemegang mandat dari MPR maka kini presiden bukan lagi mandataris MPR dan tidak ada lagi GBHN yang dibuat oleh MPR untuk diamanatkan kepada presiden. Yang jadi permasalahan, kini apa yang menjadi penentu arah negara terkhusus dalam pembentukan kebijakan di bidang hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan? Yang menjadi penentu arah itu adalah kebijakan dari pemimpin sebagai konsekuensi dipilih langsung oleh rakyat dengan membawa program-program yang telah dijanjikan. Dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik tentunya yang menjadi kebijakan dasar adalah UUD 1945, akan tetapi konstitusi tersebut pulalah yang memberikan konsekuensi bahwa penentu kebijakan adalah program pemimpin tertinggi bangsa ini, jadi dapat juga dikatakan kebijakannya dalam Undang-Undang pelayanan publik berasal dari janji-janji kampanye pada pemilihan presiden juga yang kemudian diusulkan melalui rancangan Undang-Undang kepada DPR, dan hal ini dalam konteks teoritis merupakan masukan dari salah satu suprastruktur politik di negara ini.

Tujuan Politik Hukum Nasional Dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik

Jelas bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara Republik Indonesia. Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan

  1. Sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki;
  2. Dengan sistem hukum nasional itu akan mewujudkan cita-cita bangsa indonesia yang lebih besar.

Secara ideal sistem hukum nasional kita merupakan sebuah sistem hukum (materiil dan formil) yang dibangun berdasarkan ideologi pancasila, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sumber hukum lain yang bersesuaian atau relevan secara umum dengan masyarakat Indonesia serta berlaku di seluruh wilayah indonesia. Sementara cita-cita yang ingin diraih dengan sistem hukum itu pada dasarnya adalah dalam rangka menbantu terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam pembukaan UUD Negara R.I Tahun 1945; melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Perincian dan konteks praktis dari apa yang tecantum dalam pembukaan UUD tersebut dapat dibaca pada pasal-pasal yang tedapat dalam UUD tersebut dan juga dapat ditemui pada peraturan perundang-undangan yang lain dibawahnya. Dalam hal ini yang akan kita jadikan objek kajian adalah UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU ini merupakan bagian dari sistem hukum yang oleh Lawrence M. Friedman disebut dengan legal substance.

Dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik yang menjadi dasar pertimbangan atau tujuan yang hendak dicapai dengan pembentukan UU tersebut adalah bahwa;

  1. Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
  3. Bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
  4. Bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya;

Jika menelaah hal tersebut di atas maka akan terlihat bahwa tujuan dari pembentukan UU tersebut mempunyai muatan politik, sosial, ekonomi, dan kultur/budaya.

Muatan politik terlihat pada bagian pertama yaitu

“Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Di kalimat tersebut mengedepankan tugas dan fungsi negara yang mana kedua hal itu merupakan kajian politis. Adalah merupakan kewajiban negara untuk memberikan dan menjamin pelayanan yang baik masyarakatnya. Hal tersebut sejalan dengan ajaran F.K Savigni bahwa negara adalah wadah buatan bagi sebuah komunitas untuk menjamin tercapainya tujuan yang dinginkan oleh komunitas tersebut. Aplikasi dari pencapaian cita-cita tersebut salah satunya adalah pelayanan terhadap publik tentunya.

Muatan tujuan yang bersifat sosial dapat kita lihat pada kalimat

“Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik”

Di sana terlihat bahwa ada tuntutan dari dalam masyarakat atau warga negara untuk meningkatkan pelayanan publik. Hal itu berarti bahwa selama ini pelayanan publik dianggap belum sesuai dengan apa yang masyarakat inginkan atau dengan kata lain jauh dari harapan masyarakat. Olehnya dengan membentuk undang-undang ini maka akan diharapkan masyrakat akan mempunyai paradigma baru tentang pelayanan publik di negara ini dan; terbangunnya kepercayaan terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik tersebut.

Tujuan yang mengandung muatan ekonomi tidak secara eksplisit dituliskan kedalam aturan tersebut, namun apabila kita mencermati keempat tujuan/pertimbangan dalam pembentukan undang-undang tersebut maka akan terlihat motif ekonominya. Contoh jika pelayanan publik dilaksanakan dengan optimal dalam sebuah korporasi milik negara dan memberikan kepuasan bagi publik maka secara ekonomi hal tersebut dapat menambah keuntungan bagi korporasi tersebut yang akhirnya akan mampu menambah kekayaan negara dan tentunya akan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Kehendak terakhir yang terkandung dalam UU Pelayanan Publik tersebut adalah yang bermuatan kultur atau budaya. Hal inipun tidak dituliskan secara gamblang ke dalam pasal-pasal yang ada dalam UU tersebut, tetapi jika dikaji lebih dalam salah satu tujuan dari dibentuknya UU pelayanan Publik ini adalah guna menciptakan budaya politik dan budaya hukum yang sehat dalam kegidupan bernegara di Indonesia khususnya dalam hal pelayanan publik. dengan UU tersebut diharapkan mampu menciptakan budaya pelayanan publik yang baik oleh penyelenggara pelayanan publik tersebut. Dan dengan terciptanya kultur hukum dan politik yang baik maka akan menciptakan kedewasaan bernegara (menyangkut Hukum dan Pemerintahan) dan lagi-lagi akan menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa dan negara ini.

Bab. 3. Penutup

3.1. Kesimpulan

Dari pemaparan-pemaparan penulis sebelumnya tentang politik hukum terhadap UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Berbicara tentang politik hukum yang terdapat dalam suatu aturan maka pisau analisis yang digunakan dalam mengkajinya adalah; Masalah kebijakan dasar; Penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut; Materi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku; Peoses pembentukan hukum; Dan tujuan politik hukum nasional
  2. Kebijakan dasar yang mendasari suatu politik hukum terhadap suatu aturan adalah berangakat dari konstitusi suatu negara dan jika berbicara tentang UU No.25/2009 maka yang menjadi kebijakan dasar adalah UUD Negara R.I Tahun 1945 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 27 Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H, Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia Tahun 1945.
  3. Dalam UU No. 25/2009 tentang pelayanan publik materi hukum yang akan diberlakukan terdiri atas 62 pasal dan 183 ayat. Terdapat 5 undang-undang yang sedang berlaku saat undang-undang ini dibuat dan menjadi pertimbangan pembentukan undang-undang tersebut.
  4. Proses pembentukan hukum dalam UU No. 25/2009 merupakan in put dari kehendak-kehendak yang datangnya dari berbagai kalangan ada yang datangnya dari suprastruktur politik seperti Presiden dan DPR, ada yang datang dari tuntutan social society untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, adapula yang datang dari infrastruktur politik lainnya seperti partai politik dan lain-lain. Secara garis besar seluruh kehendak dalam proses pembentukan hukum adalah kehendak-kehendank yang sifatnya politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
  5. Tujuan politik hukum nasional dalam UU No. 25 Tahun 2009 meliputi muatan-muatan yang bersifat politik, sosial, ekonomi, dan kultur/budaya. Yang menjadi muatan politis adalah; merupakan tugas dan kewajiban negara menjamin berlangsungnya pelayanan publik dengan baik, muatan sosial adalah; merupakan jawaban dari tuntutan perbaikan pelayanan publik dari masyrakat, muatan ekonominya adalah;dengan meningkatnya pelayanan publik maka diharapkan akan perekonomian juga makin tumbuh, dan yang menjadi muatan kulturnya adalah; menciptakan budaya hukum dan pemerintahan yang baik di kehidupan bernegara khususnya dalam bidang Pelayanan Publik.

3.2. Saran

Adapun saran yang penulis usulkan dalam tulisan ini adalah:

  1. Agar UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini bisa berjalan efektif maka hendaknya mengoptimalkan sosialisasi peraturan tersebut kepada penyelenggara Pelayanan Publik dan kepada masyarakat
  2. Di dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini sangat minim menggunakan politik hukum pidana dalam rangka menambah keefektifitasannya, padahal dalam rangka mengoptimalkan efektifitas sebuah peraturan juga sangat dibutuhkan dukungan dari politik hukum pidana. Jadi di masa datang dalam membuat sebuah Undang-Undang agar menempatkan juga politik hukum pidana sebagai penambah “daya” efektifitasnya.

(alie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar